Sabtu, 05 November 2011

kemiskinan yang tak pernah tuntas

akhir kahir ini telah sering kita melihat yang orang-orang yang kurang mampu, mungkin disekitar kita ataupun disekitar mereka,kenyataan yanng mereka alami bukanlah kenyataan yang mereka inginkan, yah sama halnya dengan kita tak pernah mengharapkan sesuatu kekurangan dalam hidup kita yaitu berupa materi.
tapi itulah hidup, itulah kenyataan yang terjadi di sekitar kita, bergelimpangan masyarakat yang kurang mampu mengharap sedekah dari pada tuan tuan berkantong dan berjas hitam,terkadang aku bertanya pada diriku kenapa negara ku tak seperti negara lain yang di eropa sana, tak begitu bergelimpang masyarakat kurang mampu, apakah ini karena permainan politik para politikus? atau karena ketidak pedulian para pemimpin kita pada mereka?
jika kita melihat dari UU negara kita telah terangkum bagus dengan segala sesuatunya, tapi mengapa masih saja ada ketimpangan dalam negara ini, Jika kita melihat pasal 27 ayat (2) UUD 1945 terlihat jelas dikatan disana bahwa "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan" tapi kenyataannya penganguran yang menyebabkan salah satu kemiskinan masih banyak kita jumpai di negara ini, bukan salah mereka yang tidak mau mencari pekerjaan tapi salah pemerintah yang tidak mau menyiapkan pekerjaan,belum lagi tentang penggusuran yang sering dilakukan para pemerintah sekarang bagi masyarakat yang kurang mampu, yah,..jadinya seperti istilah "udah jatuh ketimpa tangga pula",
saya kadang berpikir dan bertanya ada apa negara ini? sudah tidak mampu menyediakan pekerjaan tapi kenapa masyarakat yang membangun usaha kecil kecilan di kaki lima malah, padahal mereka sama seperti kita mengisi perut dan mencukupi kehidupan mereka. tapi itulah kenyataan negara ini.
janji President kita sangat baik, inilah janji president kita saat kampanye


1. Pertumbuhan ekonomi minimal 7 persen sehingga kesejahteraan rakyat meningkat.
2. Kemiskinan harus turun 8-10 persen dengan meningkatkan pembangunan pertanian, pedesaan dan program pro rakyat.
3. Pengangguran turun 5-6 persen dengan cara meningkatkan peluang lapangan pekerjaan dan peningkatan penyaluran modal usaha.
4. Pendidikan harus ditingkatkan lagi. Mutu infrastruktur dan kesejahteraan guru dan dosen ditingkatkan. Persamaan perlakuan sekolah negeri-swasta-agama. Tetap melanjutkan sekolah gratis bagi yang tidak mampu.
5. Masalah kesehatan dengan terus melakukan pemberantasan penyakit menular dan melanjutkan pengobatan gratis bagi yang tidak mampu.
6. Swasembada Beras dipertahankan. Ke depannya Indonesia akan menuju swasembada daging sapi dan kedelai.
7. Penambahan Energi daya listrik secara nasional. Kecukupan BBM dan pengembangan energi terbarukan.
8. Pembangunan infrastruktur di seluruh wilayah Indonesia. Mulai dari perhubungan, pekerjaan umum, air bersih, TI, maupun pertanian.
9. Peningkatan pembangunan rumah rakyat seperti proyek rusun murah untuk buruh, TNI/ Polri, dan rakyat kecil.
10. Pemeliharaan lingkungan terus ditingkatkan seperti dengan reboisasi lahan.
11. Kemampuan pertahanan dan keamanan terus ditingkatkan seperti pengadaan dan modernisasi alustsista TNI/ Polri.
12. Reformasi birokrasi, pemberantasan korupsi terus ditingkatkan.
13. Otonomi daerah dan pemerataan daerah ditingkatkan.
14. Demokrasi dan penghormatan terhadap HAM makin ditingkatkan. Jangan terjadi lagi pelanggaran HAM berat di negeri ini.
15. Peran Indonesia makin ditingkatkan di dunia internasional. Berperan aktif dalam menciptakan perdamaian dunia.
(http://justnurman.wordpress.com)
sangat bagus bukan apalagi kalau kita melihat pada point dua dan tiga yaitu
Kemiskinan harus turun 8-10 persen dengan meningkatkan pembangunan pertanian, pedesaan dan program pro rakyat. dan Pengangguran turun 5-6 persen dengan cara meningkatkan peluang lapangan pekerjaan dan peningkatan penyaluran modal usaha.
tapi mana janjinya? hanya tiga yang terlaksana dari 15 point yang dia janjikan.
ini bukan salah rakyat karena malas tapi ini salah pemerintahan yang kurang tegas dan kurang jelas,

Rabu, 24 Agustus 2011

KEADILAN ATAU UANG


Keadilan atau uang seperti itulah kira-kira sosok hukum di indonesia ini. Hukum di indonesia ini seperti berjalan bingung lari mau kemana? Dan mengarah pada siapa?. Mungkin hukum selalu bertanya tanya pada dirinya “ benarkan yang salah dapat uang, benarkan keadilan kantong kosong,,
Hukum di indonesia seakan tidak lagi berjalan sesuai asasnya, tetapi berjalan seperti nafsunya. Nafsu untuk mendapatkan sesuatu yang lebih bernilai dari pada keadilan. Panggung hukum seperti panggung mafia, yang berduit yang menang ,wajar jika di indonesia ini ada istilah yaitu mafia hukum.


Indonesia terkenal dengan negara hukum, dengan norma-norma yang begitu kuat dan masih melekat dalam diri setiap rakyatnya. Tapi mengapa hukum begitu saja dapat tergiur dengan uang mengapa bukan dengan keadilan yang seharusnya untuk di tegakkan. Negara ini sudah seperti negara kapital, segalanya harus dengan duit bahkan untuk kebenaranpun harus pake duit.
Sampai kapan negara ini seperti ini?, haruskah warga miskin yang seharusnya benar harus disalahkan karena dia tak punya uang.? tegaklah selalu hukum ku, adillah seperti timbangan di tiangmu. Dan tajamlah kamu menghunus pisau mu kepada kesalahan

By: wilmart simarmata

Selasa, 05 Juli 2011

Inilah Anggota DPR yang Dipecat

Tiga anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diberi sanksi tegas karena perbuatan melanggar hukum. Satu anggota diberhentikan tetap, satu nonaktif, dan satu orang dicopot dari pimpinan Komisi VI.

"Ada As'ad Syam, Izul Islam, dan Nurdin Tampubolon," ujar Wakil Ketua DPR Anis Matta, usai rapat paripurna DPR di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (5/7/2011).

Menurut informasi, As'ad Syam adalah anggota FPD DPR yang dinonaktifkan karena kasus dugaan korupsi PLTU. Sementara Izul Islam adalah anggota FPPP DPR yang di PAW karena kasus ijazah palsu.

Nurdin Tampubolon adalah Wakil Ketua Komisi VI DPR dari Hanura. Nurdin dicopot karena tidak kooperatif dengan BK DPR yang sudah tiga kali memanggilnya dalam kasus dugaan korupsi.

Namun nama-nama tersebut tidak diumumkan dalam paripurna karena untuk menjaga etika. Keterangan lebih lanjut hanya diberikan hak BK DPR untuk menyampaikan.

"Jadi kemarin kita di rapat pimpinan pada Jumat lalu pimpinan sudah sepakat untuk bacakan surat masuk sedangkan kalau teman-teman ingin tanyakan detail silakan langsung ke BK. Sebenarnya ada aturannya untuk dibacakan di paripurna tetapi karena menyangkut orang-perorang kita buat lebih soft saja," tandasnya

Elvan Dany Sutrisno - detikNews

pulanglah pada pangkuan ibu pertiwi

NAZARUDDIN mantan Bendahara Umum Partai Demokrat yang terkait kasus suap semakin membuat tanda tanya. bagaimana tidak Pasalnya , pemerintah Singapura membantah keberadaan politisi muda ini di negara mereka. itu disamapaikan oleh Kementerian Luar Negeri Singapura atau Ministry of Foreign Affairs (MFA) Singapore.
disampaikan oleh juru bicara MFA seperti dikutip dari rilis resmi MFA, Selasa (5/7). bahwa "Bapak Nazaruddin tidak berada di Singapura. Beliau juga belum di sini untuk beberapa waktu dan informasi ini disampaikan kepada pemerintah Indonesia beberapa minggu lalu, jauh sebelum ia dinyatakan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 30 Juni 2011," (MICOM 05 juli 2011)

Namun Nazaruddin menyebut dirinya masih menginjakkan kaki di tanah Singapura."Di Sing (Singapura -red), kenapa?," kata Nazaruddin.
Hal ini disampaikan Nazaruddin saat ditanya di mana posisinya terakhir melalui pesan BlackBerry messengernya kepada wartawan, Selasa (5/7/2011).
Bahkan saat wartawan mengajukan pertanyaan yang sama, Nazaruddin menjawab dengan jawaban yang sama. "Di sing," ucapnya lagi.
Meski demikian Nazaruddin enggan menjawab saat diminta bersumpah. Ditanya hal yang sama sekali lagi, Nazaruddin diam saja.(detik news,05-07-2011)

PAK NAZARUDDIN kamu dimana sebenarnya pulanglah pada pangkuan Ibu pertiwi, berani berbuat harus berani bertanggung jawab, jangan seperti tikus setelah mencuri kemudian lari masuk lobang satu kemudian kelobang lain.

PENEGAK HUKUM BUKAN PELANGGAR HUKUM

Para penegak hukum sekarang sudah sangat memalukan, hakim yang seharusnya adalah bertugaskan menegakkan hukum malah terkait dengan pelanggaran hukum .....

Kembali KPK menangkap seorang hakim. Dia adalah Imas Dianasari, hakim adhoc Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Bandung, Jawa Barat. Sosok pengadil ketiga yang dibekuk KPK karena kasus dugaan suap dalam setahun terakhir.
sedangkan Pada bulan Maret tahun lalu, KPK membekuk Hakim PT TUN Ibrahim. Dia ditangkap bersama seorang pengacara bernama Adner Sirait di pinggir sungai, Cempaka Putih Barat, Jakarta Pusat. KPK menemukan bungkusan plastik berisi uang Rp 300 juta, ponsel yang sedang diperiksa dan mobil. Baik Ibrahim maupun Adner, kini sudah divonis penjara.
Lalu pada bulan Juni 2011, giliran hakim PN Jakarta Pusat Syarifuddin yang dicokok. Lagi-lagi karena kasus suap. Dia diduga menerima duit dari seorang kurator sebesar Rp 250 juta dan mata uang asing bernilai miliaran.akibatnya KPK menjerat Syarifuddin dengan pasal 12 a atau b atau c pasal 6 ayat 2 atau pasal 5 ayat 2 dan atau pasal 11 UU No 31/1999 sebagaimana diubah menjadi UU No 20/2001. Sementara si pemberi uang, PW, dijerat pasal 6 ayat 1 a dan atau pasal 5 ayat 1 huruf a atau b dan pasal 13 UU No 31/1999 sebagaimana diubah menjadi UU No 20/2001.
Hakim Imas Dianasari ditangkap KPK ketika sedang berada di sebuah restoran di kawasan Cinunuk, Bandung, Jawa Barat. Dari tangannya disita uang senilai Rp 200 juta dan mobil Avanza hitam. KPK menangkapnya bersama seorang pengusaha berinisial OJ dari PT OI.
Kasus diatas sudah cukup mencoreng wajah peradilan di Indonesia,sangat disayangkan jika para penegak hukum di Indonesia ini terkait dengan pelanggaran hukum, jika para penegaknya sudah melanggar hukum bagaimana lagi hukum harus menegakkan keadilan?

Senin, 27 Juni 2011

penyelesaian sengketa Malaysia dan Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam interaksi konflik atau sengketa adalah hal yang lumrah terjadi. Sengketa adalah :adanya ketidaksepakatan mengenai masalah hukum atau fakta-fakta atau konflik mengenai penafsiran atau kepentingan antara 2 bangsa yang berbeda. Ditinjau dari konteks hukum internasional publik, sengketa dapat didefinisikan sebagai ketidaksepakatan salah satu subyek mengenai sebuah fakta, hukum, atau kebijakan yang kemudian dibantah oleh pihak lain. Berbagai metode penyelesaian sengketa telah berkembang sesuai dengan tuntutan jaman. Metode penyelesaian sengketa dengan kekerasan, misalnya perang, invasi, dan lainnya, telah menjadi solusi bagi negara sebagai aktor utama dalam hukum internasional klasik
Penyelesaian sengketa melalui jalur hukum atau judicial settlement juga dapat menjadi pilihan bagi subyek hukum internasional yang bersengketa satu sama lain. Bagi sebagian pihak, bersengketa melalui jalur hukum seringkali menimbulkan kesulitan, baik dalam urusan birokrasi maupun besarnya biaya yang dikeluarkan. Namun yang menjadi keuntungan penyelesaian sengketa jalur hukum adalah kekuatan hukum yang mengikat antara masing-masing pihak yang bersengketa.
Begitu halnya dengan hubungan antara Indonesia dengan Malaisia. Walaupun antara kedua Negara tersebut satu rumpun dan sering melakukan hubungan baik baik dalam hubungan bilateral maupun multilateral, namun tidak selamanya hungan itu ber jalan lancar ini dapat dibuktikan dengan adanya berbagai persoalan kedaulan salah satu diantaranya adalah pada tahun 2002 Indonesia dengan Malaysia terjadi sebuah sengketa yang mana di sengketa tersebut hal yang disengketakan agalah tentang batas kedaulatan wilayah antara Indonesia dengan Malaysia mengenai kepemilikan pulau yang ada di perbatas tersebut dan keduanya mengklaim bahwa pulau tersebut adalah masuk batas territorial negaranya baik itu Malaisia maupun Indonesia.
Dalam penyelesaian sengketa ini jalan yang ditempuh oleh kedua Negara ini yaitu Indonesia dan Malaisia adalah dengan jalan penyelesaian sengketa Internasional secara damai dan penyelesaiannya secara yudicial di Mahkamah Internasional
B. Identifikasi Masalah
1. Langkah apa yang diambil Malaisia dan Indonesia dalam menyelesaikan sengketa kedaulatan diantara keduanya?

BAB II
KASUS POSISI
A. Fakta Hukum
Untuk lebih jelanya mengenai fakta hukum mengenai sengketa kedaulatan Pulau Sipadan dan Lingitan ini antara Indonesia dan Malaysia maka perlu diketahui kejelasan dari permasalahan tersebut baik dari para pihak maupun kasus yang disengketakan,
1. Para Pihak
Indonesia
Malaisia
2. Kasus Sengketa
Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan karena adanya ketidakjelasan garis perbatasan yang dibuat oleh Belanda dan Inggris yang merupakan negara pendahulu dari Indonesia dan Malaysia di perairan timur Pulau Borneo,
B. Permasalahan Hukum
Sebelum 1969 kedua belah pihak menghormati Konvensi 1891 antara Inggris dan Belanda yang menetapkan garis batas 40 10’ Lintang Utara (LU) bagi kedua negara. Indonesia berpendirian bahwa Pulau Sipadan dan Ligitan yang terletak di sebelah Selatan garis itu merupakan wilayah Indonesia.
Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan untuk pertama kali muncul ketika dilangsungkan perundingan batas landas kontinen antara Indonesia dan Malaysia di Kuala Lumpur pada 9-22 September 1969, karena Malaysia mengklaim pemilik kedua pulau tersebut
Indonesia mendasarkan kedaulatan atas kedua pulau itu menurut Pasal IV Konvensi 1891 antara Belanda dan Inggris. Sedangkan Malaysia mendasarkan kepemilikannya menurut dua alur yaitu alur Sultan Sulu-Spanyol-Amerika Serikat-Inggris-Malaysia dan alur Sultan Sulu-Den & Overbeck-BNBC-Malaysia.
Sengketa ini lalu dibicarakan dalam pertemuan antara Presiden Soeharto dan PM Mahathir Muhamad di Yogyakarta pada 1989. Melalui berbagai pertemuan dalam beberapa tahun, kedua belah pihak berkesimpulan sengketa ini sulit untuk diselesaikan secara bilateral
Karena itu kedua belah pihak setuju untuk mengajukan penyelesaian ini ke Mahkamah Internasional dengan menandatangai ”Perjanjian Khusus untuk diajukan ke Mahkamah Internasional dalam Sengketa antara Indonesia dan Malaysia menyangkut kedaulatan atas Pulau Ligitan dan Sipdan,” di Kuala Lumpur pada 31 Mei 1997. Melalui surat bersama perjanjian ini kasus sengketa ini disampaikan ke Mahkamah Internasional di Den Haag pada 2 November 1998.
Kedua belah pihak mempercayai Mahkamah Internasional akan mengambil keputusan yang adil mengenai siapa yang berdaulat atas kedaulatan Pulau Ligitan dan Sipadan, berdasarkan bukti-bukti yang ada
Indonesia mendasarkan kedaulatan atas kedua pulau itu menurut Pasal IV Konvensi 1891 antara Belanda dan Inggris. Sedangkan Malaysia mendasarkan kepemilikannya menurut dua alur yaitu alur Sultan Sulu-Spanyol-Amerika Serikat-Inggris-Malaysia dan alur Sultan Sulu-Den & Overbeck-BNBC-Malaysia. Malaysia juga berpendirian bahwa kedaulatannya atas kedua pulau tersebut berdasarkan fakta bahwa Inggris dan kemudian Malaysia sejak 1878 secara damai terus menerus mengadministrasi kedua pulau itu.
Di depan Mahkamah Internasional, untuk membuktikan klaimnya, kedua belah pihak harus memenuhi prosedur, antara lain menyampaikan pembelaan tertulis dan memori, memori banding dan replik. sampai memasuki tahap penyampaian pembelaan lisan.
Pembelaan lisan terbagi dua, yaitu putaran pertama pada 3 dan 4 Juni 2002 Indonesia menyampaikan pembelaannya pada dengar pendapat terbuka. Menyusul Malaysia pada 6 dan 7 Juni. Sedang putaran kedua pada 10 Juni untuk Indonesia dan pada 12 Juni jawaban Malaysia. Mengenai cara-cara menyampaikan perkara, batas waktu penyampaian pembelaan tertulis dan lisan tertera dalam Statuta ICJ. Pembelaan lisan ini, sebagai kelanjutan pembelaaan tertulis yang berakhir pada Maret 2000, akan berlangsung sampai 12 Juni 2002
Pemerintah Indonesia berpendirian bahwa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan merupakan wilayah Indonesia. Selain itu, Indonesia tetap mengajukan protes sambil menahan diri untuk tidak melakukan klaim sepihak seperti yang dilakukan Malaysia selama ini atas kedua pulau di lepas pulau Kalimantan tersebut. Demikian salah satu kesimpulan yang diutarakan Menlu saat menyampaikan argumentasi lisan di hadapan hakim pengadilan internasional di Den Haag.
Kendati sedang bersengketa, Hassan menyatakan bahwa hubungan Indonesia dengan Malaysia masih berlangsung dengan sangat baik. ”Kembali kepada sisi yang positif, Indonesia memperhatikan bahwa kendati terdapat perbedaan-perbedaan dengan Malaysia, hubungan antara kedua negara tetap berjalan sangat baik dan kedua negara telah bersikap arif untuk menyelesaikan sengketa (Sipadan dan Ligitan) secara bersama kepada yurisdiksi Mahkamah Internasional
Hassan, selaku pemegang kuasa hukum (Agent) Indonesia dalam kasus sengketa Sipadan dan Ligitan, yaitu bahwa adanya tindakan sepihak Malaysia pada tahun 1979 yang tidak mencerminkan adanya ”good faith,” diantaranya dengan cara menerbitkan peta yang memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam wilayah nasionalnya. ”Dan akhirnya dengan membangun sejumlah fasilitas wisata di Sipadan. Tindakan-tindakan ini secara fundamental tidak selaras dengan sikap menahan diri atau ‘status quo.
Indonesia mendasarkan kedaulatan atas kedua pulau itu menurut Pasal IV Konvensi 1891 antara Belanda dan Inggris. Sedangkan Malaysia mendasarkan kepemilikannya menurut dua alur yaitu alur Sultan Sulu-Spanyol-Amerika Serikat-Inggris-Malaysia dan alur Sultan Sulu-Den & Overbeck-BNBC-Malaysia.
PADA tanggal 17 Desember 2002 lalu, Mahkamah Internasional di Den Haag memutuskan, Pulau Sipadan dan Ligitan adalah wilayah Malaysia berdasar kenyataan, Inggris dan Malaysia dianggap telah melaksanakan kedaulatan yang lebih "efektif" atas pulau itu sebelum tahun 1969.
Indonesia menghormati keputusan itu, apalagi karena Pasal 5 Persetujuan 1997 tegas menyatakan, kedua pihak agree to accept the judgement of the Court given pursuant to this Special Agreement as final and binding upon th
D. Pokok-pokok Putusan Mahkamah Internasional
Putusan Mahkamah dan Pokok-pokok Pertimbangannya mengenai sengketa Indonesia dengan Malaisia tersebut diatas yaitu:
Pokok-pokok Putusan Mahkamah Internasional
1. Menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau sengketa pernah menjadi bagian dari wilayah yang diperoleh Malaysia berdasarkan kontrak pengelolaan privat Sultan Sulu dengan Sen-Overbeck/BNBC/Inggris/Malaysia. Mahkamah juga menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau termasuk dalam wilayah Sulu/Spanyol/AS/Inggris yang kemudian diserahkan kepada Malaysia berdasarkan terori rantai kepemilikan (Chain of Title Theory). Menurut Mahkamah tidak satupun dokumen hukum atau pembuktian yang diajukan Malaysia berdasarkan dalil penyerahan kedaulatan secara estafet ini memuat referensi yang secara tegas merujuk kedua pulau sengketa.
2. Menolak argumentasi Indonesia bahwa kedua pulau sengketa merupakan wilayah berada di bawah kekuasaan Belanda berdasarkan penafsiran atas pasal IV Konvensi 1891. penafsiran Indonesia terhadap garis batas 4° 10' LU yang memotong P. Sebatik sebagai allocation line dan berlanjut terus ke arah timur hingga menyentuh kedua pulau sengketa juga tidak dapat di terima Mahkamah. Kejelasan perihal status kepemilikan kedua pulau tersebut juga tidak terdapat dalam Memori van Toelichting. Peta Memori van Toelichting yang memberikan ilustrasi sebagaimana penafsiran Indonesia atas pasal IV tersebut dinilai tidak memiliki kekuatan hukum karena tidak menjadi bagian dari konvensi 1891. mahkamah juga menolak dalil alternatif Indonesia mengingat kedua pulau sengketa tidak disebutkan di dalam perjanjian kontrak 1850 dan 1878 sebagai bagian dari wilayah Kesultanan Bulungan yang diserahkan kepada Pemerintah Kolonial Belanda.
3. Penguasaan efektif dipertimbangkan sebagai masalah yang berdiri sendiri dengan tahun 1969 sebagai critical date mengingat argumentasi hukum RI maupun argumentasi hukum Malaysia tidak dapat membuktikan klaim kepemilikan masing-masing atas kedua pula yang bersengketa.
i. Berkaitan dengan pembuktian effectivities Indonesia, Mahkamah menyimpulkan bahwa tidak ada bukti-bukti kuat yang dapat mewujudkan kedaulatan oleh Belanda atau Pulai Sipadan dan Pulau Ligitan. Begitu pula halnya, tidak ada bukti-bukti dan dokumen otentik yang dapat menunjukkan adanya bentuk dan wujud pelaksanaan kedaulatan Indonesia atas kedua pulau dimaksud hingga tahun 1969. Mahkamah tidak dapat mengabaikan fakta bahwa UU No. 4/Prp/1960 tentang Perairan yang ditetapkan pada 18 Pebruari 1960-yang merupakan produk hukum awal bagi penegasan konsep kewilayahan Wawasan Nusantara- juga tidak memasukkan Sipadan-Ligitan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
ii. Berkaitan dengan pembuktian effectivies Malaysia, Mahkamah menyimpulkan bahwa sejumlah dokumen yang diajukan menunjukkan adanya beragam tindakan pengelolaan yang berkesinambungan dan damai yang dilakukan pemerintah kolonial Inggris sejak 1917. serangkaian upaya Inggris tersebut terwujud dalam bentuk tindakan legislasi, quasi yudisial, dan administrasi atas kedua pulau sengketa, seperti :
a. Pengutipan pajak terhadap kegiatan penangkapan penyu dan pengumpulan telur penyu sejak 1917.
b. Penyelesaian sengketa dalam kegiatan pengumpulan telur penyu di P. Sipadan pada tahun 1930-an;
c. Penetapan P. Sipadan sebagai cagar burung, dan
d. Pembangunan dan pemeliharaan mercu suar sejak tahun 1962 di P. Sipadan dan pada tahun 1963 di P. Ligitan
C. Teory
Teory mengenai metode penyelesaian sengketa internasional (methods of international settlement disputes) di bagi dua bagian yaitu metode diplomasi dan secara huklum, lebih jelasnya di jelaskan seperti di bawah ini:
1. Metode Diplomasi (Diplomatic Method):
1.a. Negosiasi (negotiation)
Negosiasi adalah perundingan yang dilakukan secara langsung antara para pihak dengan tujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui dialog tanpa melibatkan pihak ketiga. Negosiasi merupakan cara penyelesaian sengketa yang paling dasar dan paling tuas digunakan oleh umat manusia. Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB menempatkan negosiasi sebagai cara pertama dalam menyelesaikan sengketa.
1.b. Pencarian Fakta (fact-finding atau inquiry)
Sengketa yang dihadapi oleh para pihak pada intinya adalah mempersengketakan perbedaan mengenai fakta, maka untuk meluruskan perbedaan tersebut diperlukan campur tangan pihak lain untuk menyelidiki kedudukan fakta yang sebenarnya. Biasanya para pihak tidak meminta pengadilan tetapi meminta pihak ketiga sifatnya kurang formal. Cara ini biasanya ditempuh manakala cara-cara konsultasi atau negosiasi telah dilakukan dan tidak menghasilkan suatu penyelesaian. Dengan cara ini, pihak ketiga akan berupaya melihat suatu permasalahan dari semua sudut guna memberikan penjelasan mengenai kedudukan para pihak.
1.c. Jasa-Jasa Baik (good offices)
Melibatkan pihak ketiga (third party) yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa. Pihak ketiga dapat berupa individu atau kelompok (group or individual), negara atau kelompok negara atau organisasi internasional.
Dalam jasa-jasa baik, pihak ketiga terlibat tanpa memainkan peranan yang aktif dalam arti dia tidak ikut secara langsung dalam perundingan-perundingan tetapi hanya menyiapkan dan mengambil langkah-langkah yang perlu agar para pihak yang bersengketa dapat bertemu satu sama lain dan merundingkan sengketanya. Bila para pihak yang bersengketa telah setuju untuk saling bertemu maka berakhir pulalah misi negara yang menawarkan jasa-jasa baiknya tersebut, contoh: atas jasa-jasa baik Perancis, Menlu Henry Kissinger mengadakan perundingan dengan Menlu Vietnam Le Duc Tho pada bulan Januari 1973 untuk mengakhiri Perang Vietnam.
Determination made by third party is not binding unless they have so agreed.
Pelaksanaan jasa-jasa baik (good offices) dapat disatukan dengan mediasi (mediation) pelaksanaannya dapat disatukan/digabungkan, contoh: Kasus Iran (1979) --- kedua belah pihak tidak berbicara secara langsung satu sama lain. Dalam kasus ini Aljazair bertindak sebagai mediator dan menghasilkan Algier Accord sebagai dasar pembentukan “The Iran-USA Claims Tribunal in the Hague (1981)”.
1.d. Mediasi (mediation)
Melibatkan pihak ketiga (third party) yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa. Pihak ketiga dapat berupa individu atau kelompok (group or individual), negara atau kelompok negara atau organisasi internasional.
Dalam mediasi, negara ketiga bukan hanya sekedar mengusahakan agar para pihak yang bersengketa saling bertemu, tetapi juga mengusahakan dasar-dasar perundingan dan ikut aktif dalam perundingan, contoh: mediasi yang dilakukan oleh Komisi Tiga Negara (Australia, Amerika, Belgia) yang dibentuk oleh PBB pada bulan Agustus 1947 untuk mencari penyelesaian sengketa antara Indonesia dan Belanda dan juga mediasi yang dilakukan oleh Presiden Jimmy Carter untuk mencari penyelesaian sengketa antara Israel dan Mesir hingga menghasilkan Perjanjian Camp David 1979. Dengan demikian, dalam mediasi pihak ketiga terlibat secara aktif (more active and actually takes part in the negotiation).
Determination made by third party is not binding unless they have so agreed.
1.e. Konsiliasi (conciliation)
Konsiliasi merupakan suatu cara penyelesaian sengketa oleh suatu organ yang dibentuk sebelumnya atau dibentuk kemudian atas kesepakatan para pihak yang bersengketa. Organ yang dibentuk tersebut mengajukan usul-usul penyelesaian kepada para pihak yang bersengketa (to the ascertain the facts and suggesting possible solution). Rekomendasi yang diberikan oleh organ tersebut tidak bersifat mengikat (the recommendation of the commission is not binding).
Contoh dari konsiliasi adalah pada sengketa antara Thailand dan Perancis, kedua belah pihak sepakat untuk membentuk Komisi Konsiliasi. Dalam kasus ini Thailand selalu menuntut sebagian dari wilayah Laos dan Kamboja yang terletak di bagian Timur tapal batasnya. Karena waktu itu Laos dan Kamboja adalah protektorat Perancis maka sengketa ini menyangkut antara Thailand dan Perancis.
2. Penyelesaian Sengketa Internasional Dengan Cara Hukum
2.a. Arbitrase
Arbitrase adalah suatu prosedur penyelesaian sengketa melalui keputusan yang mengikat yang didasarkan atas hukum dan sebagai hasil dari penerimaan secara sukarela (a procedure for the settlement of disputes between states by a binding award on the basis of law and as a result of an undertaking voluntarily accepted).
2.b. Mahkamah Internasional (International Court of Justice)
Mahkamah Internasional (ICJ) sebagai badan peradilan dunia yang berkedudukan di Den Haag dewasa ini memainkan peranan yang sangat penting di dalam mencegah pertikaian antarnegara. Mahkamah Internasional (ICJ) merupakan kelanjutan dari Mahkamah Tetap Peradilan Internasional (PCIJ) yang dibentuk berdasarkan Pasal XIV Covenant LBB. Pembentukan Mahkamah yang baru ini (ICJ) sama sekali bukanlah berarti bahwa Mahkamah yang lama (PCIJ) gagal dalam menjalankan tugasnya. Terbukti dari tahun 1922 sampai dengan tahun 1940, Mahkamah Tetap (PCIJ) telah memutuskan 31 perkara dan menyampaikan 27 pendapat tidak mengikat (advisory opinion).
Mahkamah Internasional (ICJ) merupakan bagian integral dari PBB. Menurut Pasal 92 Piagam PBB: “Mahkamah Internasional merupakan organ hukum utama PBB”. Karena Mahkamah Internasional merupakan bagian integral dari PBB, maka secara otomatis semua anggota PBB merupakan anggota Statuta Mahkamah Internasional. Hal ini berbeda dengan LBB: Pakta (Covenant) LBB dan Statuta Mahkamah Tetap (PCIJ) merupakan dua naskah yang terpisah sama sekali.
Penyelesaian sengketa yang Diambil antara Malaisia dan Indonesia adalah dengan jalan mengambil metode kedua dalam hal metode hUkum dengan cara mengajukan persoalan sengketa kepada Mahkamah Internasional.
Bagi sebagian pihak, bersengketa melalui jalur hukum seringkali menimbulkan kesulitan, baik dalam urusan birokrasi maupun besarnya biaya yang dikeluarkan. Namun yang menjadi keuntungan penyelesaian sengketa jalur hukum adalah kekuatan hukum yang mengikat antara masing-masing pihak yang bersengketa.
Selain arbitrase, lembaga lain yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa internasional melalui jalur hukum adalah pengadilan internasional. Pada saat ini ada beberapa pengadilan internasional dan pengadilan internasional regional yang hadir untuk menyelesaikan berbagai macam sengketa internasional. Misalnya International Court of Justice (ICJ), International Criminal Court, International Tribunal on the Law of the Sea, European Court for Human Rights, dan lainnya.
Penyelesaian sengketa internasional melalui jalur hukum berarti adanya pengurangan kedaulatan terhadap pihak-pihak yang bersengketa. Karena tidak ada lagi keleluasaan yang dimiliki oleh para pihak, misalnya seperti memilih hakim, memilih hukum dan hukum acara yang digunakan. Tetapi dengan bersengketa di pengadilan internasional, maka para pihak akan mendapatkan putusan yang mengikat masing-masing pihak yang bersengketa.
BAB III
ANALISIS

................................................................................................
....................................................................................................

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh Indonesia dan Malaysia dalam menentukan kedaulatan di Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan suatu cara penyelesaian sengketa secara damai,dimana Indonesia dan Malaysia memilih Mahkamah Internasional untuk menyelesaikan sengketa ini, dasar hukum di dalam penyelesaian sengketa ini adalah pasal 2 ayat 3 dan pasal 33 Piagam PBB.
Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan disebabkan karena adanya ketidakjelasan garis perbatasan yang dibuat oleh Belanda dan Inggris yang merupakan negara pendahulu dari Indonesia dan Malaysia di perairan timur Pulau Borneo, sehingga pada saat Indonesia dan Malaysia berunding untuk menentukan garis perbatasan kedua negara di Pulau Borneo, masalah ini muncul karena kedua pihak saling mengklaim kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan.
Berbagai pertemuan bilateral dilakukan oleh kedua negara dalam upaya melakukan pemecahan atas sengketa ini namun sengketa ini tidak dapat diselesaikan, sehingga kedua negara sepakat untuk menyerahkan penyelesaian sengketa ini kepada Mahkamah Internasional. Berbagai macam argumentasi dan bukti yuridis dikemukakan kedua pihak dalam persidangan di Mahkamah Internasional, dan pada akhirnya Mahkamah Internasional memutuskan bahwa kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan milik Malaysia atas dasar prinsip OKUPASI, dimana Malaysia dan Inggris sebagai negara pendahulu lebih banyak melaksanakan efektifitas di Pulau Sipadan dan Ligitan.
B. Rekomendasi
Dalam mengantisipasi negosiasi pada tahap berikutnya,maka perlu terus dilakukan pengkajian mendalam untuk memperkuat posisi tawar menawar kita. Landasan hukum yang kuat akan menjadi modal dasarnya, namun harus didukung dengan kepiawaian dalam seni bernegosiasi untuk menyakinkan pihak lawan. Apabila atas dasar hasil kajian yang mendalam dan komprehensif, posisi Indonesia secara yuridis sangat kuat, maka penyelesaian secara hukum harus tetap dibuka kemungkinannya. Dengan alasan apapun, opsi perangsebaiknya tidak digunakan
Untuk mencegah berulangnya kejadian serupa, maka Pemerintah Indonesia harus menangani secara lebih serius masalah wilayah perbatasan dan pulau- pulau yang berbatasan dengan negara tetangga.Bayangkan saja untuk memperjuangkan Sipadan-Ligitan di Mahkamah Internasional harus keluar dana lebih dari Rp16 miliar. Dan itu bukan uang yang sedikit terlebih lagi kehilangan satu pulau berarti ancaman terhadap integritas wilayah Indonesia. Hal ini penting, karena sengketa pulau yang dimiliki Indonesia bukan saja Sipadan-Ligitan, tetapi banyak pulau lainnya. Selain itu, ini juga bisa menjadi preseden buruk terhadap pertanggungjawaban pemerintah untuk mempertahankan eksistensi keutuhan wilayah.
Miskin ahli hukum internasional, Hilangnya Pulau Sipadan dan Lingitan di Mahkamah Internasional, menjadi pelajaran yang sangat berharga sekali, harus diakui bahwa pemerintah memang tidak menggunakan bantuan dari pengacara atau pakar hukum internasional dari Indonesia, kecuali ahli-ahli dari Deplu sendiri. Dari sekian ribu pengacara yang ada di Indonesia, menurut Havas, belum ada satupun yang memiliki keterampilan yang memadai untuk berlaga di Mahkamah Internasional. Salah satunya adalah memperkuat dan memperbanyak ahli hukum yang menguasai pengetahuan tentang hukum internasional. Menurut Director of Treaties on Political, Security and Teritorial Affairs Deplu, Arif Havas Oegroseno, Indonesia minim sekali orang yang ahli di bidang hukum internasional. Namun, tidak seharusnya ketiadaan para pakar hukum internasional membuat kita menjadi tidak percaya diri.
Jangan menggunakan pengacara asing karena, Selain itu, ia juga berpendapat bahwa pengacara dalam negeri memiliki sense of belonging yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pengacara asing. Sedangkan, pengacara-pengacara asing relatif melihat kasus tersebut dari sisi bisnisnya semata.

Senin, 20 Juni 2011

sengketa pulai ligitan dan sipadan

Sengketa Sipadan dan Ligitan
Sengketa Sipadan dan Ligitan adalah persengketaan Indonesia dan Malaysia atas pemilikan terhadap kedua pulau yang berada di Selat Makassar yaitu pulau Sipadan (luas: 50.000 meter²) dengan koordinat: 4°6′52.86″N 118°37′43.52″E / 4.1146833°LU 118.6287556°BT dan pulau Ligitan (luas: 18.000 meter²) dengan koordinat: 4°9′N 118°53′E / 4.15°LU 118.883°BT. Sikap Indonesia semula ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN namun akhirnya sepakat untuk menyelesaikan sengketa ini melalui jalur hukum Mahkamah Internasional
Sipadan adalah sebuah pulau di negara bagian Sabah, Malaysia. Letaknya tak jauh dari pulau Kalimantan/Borneo (di sebelah utara pulau Tarakan, Kalimantan Timur).Pulau ini merupakan salah satu pulau yang dipersengketakan antara Indonesia dan Malaysia. Dan melalui Mahkamah Internasional, pulau ini beserta Pulau Ligitan diputuskan Malaysia dianggap lebih dominan daripada Indonesia dalam mengelola pulau ini, kemudian menjadi bagian wilayah Malaysia pada tahun 2003 akan tetapi ICJ gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar. [1][2] [3]. Di pulau ini masih sering ditemui penyu-penyu meletakkan telurnya.
Ligitan adalah sebuah pulau di negara bagian Sabah, Malaysia. Pulau yang terletak 21 mil (34 km) dari pantai daratan Sabah dan 57,6 mil (93 km) dari pantai Pulau Sebatik diujung timur laut pulau Kalimantan / Borneo ini luasnya 7,9 Ha.Pulai ini dari sejarahnya merupakan wilayah kesatuan Republik Indonesia dan menjadi sengketa wilayah antara Indonesia dan Malaysia. Namun, karena lemahnya argumentasi hukum Indonesia, pulau ini beserta Pulau Sipadan diputuskan menjadi wilayah Malaysia pada tanggal 17 Desember 2002 oleh Mahkamah Internasional.
Malaysia, dalam sengketa ini memberikan bukti-bukti: pertama, hak dari kedua pulau tersebut didasarkan pada beberapa transaksi dari Sultan Sulu hingga Inggris dan terakhir Malaysia. Kedua, Malaysia mengklaim bahwa Inggris kemudian Malaysia telah melakukan penguasaan damai secara berkesinambungan sejak tahun 1878. Sementara itu, Belanda, kemudian Indonesia, telah lama menelantarkan kedua pulau tersebut. Dalam hukum internasional memang hak atas wilayah dapat diperoleh pihak ketiga apabila wilayah tersebut ditelantarkan untuk kurun waktu tertentu oleh pemilik aslinya. Perolehan wilayah semacam ini disebut daluwarsa atau prescription. Akhirnya, dengan pertimbangan effectivities Malaysia dianggap lebih dominan daripada Indonesia dalam mengelola pulau ini dengan baik sehingga pulau ini diserahkan pada Malaysia akan tetapi ICJ gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar. [2][3] [4] dan menjadi terkenal karena keindahan alamnya. Selain itu di pulau ini juga masih sering ditemui penyu-penyu meletakkan telurnya.
Kronologi sengketa
Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status status quo akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia membangun resor parawisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati atau diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai. karena kita taat pada hukum internasional yang melarang mengunjungi daerah status quo, ketika anggota kita pulang dari sana membawa laporan, malah dimarahi. Sedangkan Malaysia malah membangun resort di sana.SIPADAN dan Ligitan tiba-tiba menjadi berita, awal bulan lalu. Ini, gara-gara di dua pulau kecil yang terletak di Laut Sulawesi itu dibangun cottage. Di atas Sipadan, pulau yang luasnya hanya 4 km2 itu, kini, siap menanti wisatawan. Pengusaha Malaysia telah menambah jumlah penginapan menjadi hampir 20 buah.Dari jumlahnya, fasilitas pariwisata itu memang belum bisa disebut memadai. Tapi pemerintah Indonesia, yang juga merasa memiliki pulau-pulau itu, segera mengirim protes ke Kuala Lumpur, minta agar pembangunan di sana disetop dahulu. Alasannya, Sipadan dan Ligitan itu masih dalam sengketa, belum diputus siapa pemiliknya.Pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya.Setelah Sipadan dan Ligitan Terlepas dari Indonesia
Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di pulau Bali ini antara lain menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN akan tetapi pihak Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa dengan Singapura untuk klaim Sengketa Pedra Branca|pulau Batu Puteh, sengketa kepemilikan Sabah dengan Filipina serta sengketa kepulauan Spratley di Laut Cina Selatan dengan Brunei Darussalam, Filipina , Vietnam , Cina , dan Taiwan . Pihak Malaysia pada tahun 1991 lalu menempatkan sepasukan polisi hutan (setara Brimob) melakukan pengusiran semua warga negara Indonesia serta meminta pihak Indonesia untuk mencabut klaim atas kedua pulau.
Sikap pihak Indonesia yang ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN dan selalu menolak membawa masalah ini ke ICJ kemudian melunak. Dalam kunjungannya ke Kuala Lumpur pada tanggal 7 Oktober 1996, Presiden Soeharto akhirnya menyetujui usulan PM Mahathir tersebut yang pernah diusulkan pula oleh Mensesneg Moerdiono dan Wakil PM Anwar Ibrahim , dibuatkan kesepakatan "Final and Binding," pada tanggal 31 Mei 1997, kedua negara menandatangani persetujuan tersebut. Indonesia meratifikasi pada tanggal 29 Desember 1997 dengan Keppres Nomor 49 Tahun 1997 demikian pula Malaysia meratifikasi pada 19 November 1997. Sementara pihak mengkaitkan dengan kesehatan Presiden Soeharto. Kohl zu Krankenbesuch bei "Freund" Suharto dengan akan dipergunakan fasilitas kesehatan di Malaysia Pemergian Suharto: Malaysia Kehilangan Sahabat Baik
Keputusan Mahkamah Internasional
Pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ, kemudian pada hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.